Kamis, 18 Oktober 2012

PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO


PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO
Oleh :  MUHAMMAD DARWIS, SP

Hama PBK adalah hama yang paling populer dan menjadi momok bagi petani kakao, dikenali sebagai serangga dengan nama Conopomorpha cramerella atau cacao mot atau pod borer. Serangannya  menyebabkan kemerodotan produksi hingga 60 – 80 persen. Serangan PBK pada buah mengakibatkan biji gagak berkembang, biji di dalam buah akan saling melekat, bentuknya kecil dan ringan. Buah muda yang terserang mengalami perubahan warna sebelum matang. Serangan PBK menyebabkan persentase biji cacat meningkat sehinga biaya pemanenannya pun bertambah. Kulit buah yang terserang akan sangat mudah ditumbuhi jamur. Bila buah matang terserang maka biji-biji tidak akan berbunyi pada waktu diguncang karena sudah saling melekat. (Siregar.THS, Riyadi S dan Nuaraeni L, 1993).
Selanjutnya dikatakan bahwa, PBK berbiak dengan cara meletakkan telur-telurnya di alur kulit buah. Larva yang keluar dari telur biasanya langsung memasuki buah denga cara membuat lubang kecil pada kulit buah. Di dalam buah larva memakan daging buah tepat di bawah kulit dan di antara biji, plasenta pun turut digerek.
Kupu-kupu aktif pada malam hari sejak pukul 18.00 – 20.30. siang hari mereka berlindung di tempat-tempat yang lembab dan tidak terkena cahaya matahari. Serangan PBK sejak dalam bentuk telur sampai dewasa berumur 30 hari, melewati; 7 hari fase telur, 16 hari fase ulat, dan 7 hari fase kepompong. Kupu-kupu berukuran panjang 7 mm dan lebar 2 mm. Bila sayap direntangkan mencapi panjang 12-13 mm, dengan anena di kepala yang lebih panjang dari badannya. Sayapnya berwarna coklat berpola batik. Telurnya berukuran panjang 0,5 mm dan lebar 0,8 mm, berwarna merah jingga  ulat keluar dari buah dengandengan menyusuri lubang yang dibuatnya secara khusus dan turun dengan bantuan sehelai benang halus, kemudian ulat tersebut hinggap di daun untuk menjadi kepompong. Setelah menjadi kupu-kupu, telur diletakkan di bagian kulit buah jumlahnya 50 – 100 butir pada tiap buah.
Secara umum pengendalian hama yang dianjurkan dalam Penyuluhan Pertanian adalah pengendalian berdasarkan konsep PHT. Pengendalian dengan konsep PHT dimulai dengan tindakan pencegahan (preventif), yaitu karantina, pemilihan pohon induk dan benih serta perawatan dan pengamatan dini. Namun jika tindakan pencegahan ini ternyata tidak efektif mengendalikan hama dan penyakit maka barulah dilakukan pengendalian dalam arti khusus (kuratif) yaitu menekan populasi organisme penganggu (OPT) sampai di bawah ambang toleransi. Dalam hal ini cara yang dikedepankan adalah cara-cara yang ramah lingkungan, yakni cara mekanis, fisis dan biologis.
Menurut Untung. K (1993),  pengertian PHT (pengendalian hama terpadu) adalah satu cara pendekatan/cara berfikir/falsafah pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang bertanggungjawab.
Sedangkan menurut Flint. M.L dan Robert Van Den Bosch, bahwa PHT adalah strategi pengendalian hama berdasar ekologi yang menitikberatkan pada faktor-faktor mortalitas alami seperti musuh alami dan cuaca serta mencari taktik pengendalian yang mengganggu faktor-faktor ini seminimal  mungkin. PHT memanfaatkan pestisida tetapi hanya setelah dilakukan pemantauan sistematik terhadap populasi hama dan faktor pengendali hama menunjukan perlunya penggunaan pestisda. Secara ideal, program PHT memperhitungkan semua tindakan pengendalian hama yang tersedia, termasuk juga tidak bertindak apa-apa, dan mengevaluasi interaksi antara bermacam-macam taktik pengendalian, cara-cara bercocok tanam, cuaca, hama lain dan tanaman budidaya yang akan dilindungi.
Jadi, jelaslah bahwa konsep PHT merupakan pendekatan yang menawarkan strategi pengendalian hama yang terbaik pada tanaman termasuk tanaman kakao.
Adapun strategi pengendalian hama PBK menurut konsep PHT, dapat dikemukakan sebagai berikut;
a.   Karantina
Karantina adalah tindakan mengisolasi suatu obyek/organisme di suatu tempat/lokasi khusus sebelum obyek/organisme tersebut berbaur dengan komunitas di wilayah yang bersangkutan. Dalam karantina ini pemerintah akan melakukan pengawasan, penyitaan dan pemusnahan terhadap bahan tanaman yang dianggap tercemar hama, seperti buah, entris, biji, karung dan media lainnya yang dapat menyebarkan hama PBK. Tindakan tersebut bertujuan mencegah masuknya PBK dari daerah terserang hama ke daerah lain yang masih bebas, baik secara domestik, antar pulau atau antar propinsi, maupun antar negara.
b.   Teknik Bercocok Tanam
Tindakan pencegahan berikutnya adalah mengupayakan pembudidayaan tanaman yang sehat. Tindakan ini diawali dengan pemilihan pohon induk yang tidak terserang  PBK, kemudian memilih biji-biji yang sehat (sempurna) yang berasal dari buah kakao yang sempurna pula. Bila memungkinkan diusahakan menanam  jenis yang tahan hama dan penyakit, terutama jenis Upper American Hybrids, Forastero, atau kakao jensi bulk.  (Siregar.THS, Riyadi dan Nuraeni, 1993)Selanjutnya adalah penanaman yang baik dan disusul kemudian dengan perawatan yang intensif.  Berdasarkan pola hidup  PBK sebagaimana telah diungkapkan di atss, maka perawatan yang sangat diperlukan dalam mencegah perkembangan PBK adalah pemangkasan yang teratur, baik pada tanaman kakao maupun pelindungnya. Dengan pemangkasan yang teratur maka tempat-tempat yang gelap dan lembab yang sangat disukai kupu-kupu PBK dapat dimimalkan
c.   Rampasan Buah
Rampasan buah adalah memetik semua buah yang menggantung di pohonnya. Tindakan ini tujuan untuk memutuskan daur hidup PBK dengan cara meniadakan ketersediaan makan yang sesuai kebutuhannya  di lapangan.  Menurut Soenaryo dan Sangap Situmorang (1978), buah-buah yang menggantung di pohon sekitar bulan Oktober semua di rampas. Ini berarti mengorbankan sekitar 30% dari seluruh produksi setahun atau kadang-kadang lebih. Jelaslah mengapa kerugian paling sedikit 30% dari hasil. Selanjutnya dikatakan bahwa kerugian yang bersifat ongkos dan mutu yaitu: (1) ongkos rampasan, ongkos memecah buah yang lebih mahal, (2) biaya lebih mahal produksi lebih kecil, (3) mutu rendah  yang berakibat harga jual yang rendah pula.
d.   Penyelubungan Buah
Penyelubungan buah atau biasa dikatakan kondomisasi adalah menyelubungi buah yang masih muda (panjang 8 – 10 cm) dengan kantong plastik berukuran panjang 30 cm dan lebar 15 cm. Bagian pangkal diikat dengan tangkai buah sedangkan bagian ujung dibiarkan tetap terbuka. Tindakan ini bertujuan menghambat ngengat/kupu-kupu betina meletakan telurnya pada buah tersebut.
e.   Panen Sering, Serentak dan teratur
Panen sering, serentak dan teratur bertujuan untuk menghilangkan dan membunuh larva PBK yang berada di dalam buah dan belum sempat keluar (Anonim, 2000),  Sementara itu,  Suntoro (2001) mengemukakan bahwa panen sering dimaksudkan untuk memutus rantai perkembangan PBK. Dengan demikian ulat, telur atau kepompong yang berada pada buah tersebut tidak dapat berkembang lebih lanjut menjadi kupu-kupu yang dapat bertelur lagi.
 Terdapat hubungan yang erat, menurut Mumfrod (1980) dalam Anonim (2000), antara panen dengan keberadaan PBK. Dikatakan bahwa, sekitar 90% larva PBK masih berada dalam buah yang masak awal dan masak. Olehnya itu, jika buah segera dipanen pada saat adanya tanda-tanda masak (nampak sedikit kekuningan pada kulit buah dengan biji-biji sudah longgar di dalamnya) maka sebagian besar larva ikut  serta di dalamnya.   Dengan mengetahui bahwa waktu perkembangan PBK sejak dari telur sampai menjadi kupu-kupu ialah 22 – 23 hari, maka dengan interval satu mingu sekali berdasarkan pengalaman di lapangan cukup memadai. Panen buah kakao dapat dilakukan pada saat masak fisiologis dengan adanya sedikit perubahan warna kulit.
d.   Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah meciptakan kebersihan lingkungan pertanaman. Pembersihan gulma dan pemangkasan yang teratur baik pada pelindung mapun pada tanaman kakao serta pembersihan limbah-limbah lainnya akan meniptakan lingkungan yang sehat, tidak lembab dan tidak gelap sehinga hama dan penyakit secara umum tidak mendapatkan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya.
f.  Penggunaan Pestisida
 Menurut Suntoro (2001) bahwa karena ulat PBK selalu berada di dalam buah kakao, sehinga bukan sasaran yang tepat dalam pemakaian pestisida. Sasaran pokok penggunaan pestisida adalah kupu-kupu pada saat isterahat atau meletakka telur. Dengan demikian obyak yang disemprot adalah adalah buah dan tempat-tempat peristerahatan kupu-kupu yaitu cabang-cabang horisontal sampai yang miring 20o. Selanjutnya dikatakan bahwa dengan hanya menyemprot terbatas pada buah dan jourget kakao, dapat menekan serangan PBK hingga serangan ringan yang tidak mempengaruhi produksi secara nyata.
Jenis pestisida yang digunakan, menurut Suntoro (2001) adalah golongan piretroid, dengan dosis 0,5 cc/liter air dan dalam satu hektar hanya disemprot 10 tangki (150 liter) larutan 

TEKNIS BUDIDAYA KAKAO (Theobroma cacao. L) DAN PESTISIDA NABATI


TEKNIS BUDIDAYA KAKAO (Theobroma cacao. L)
DAN PESTISIDA NABATI
Oleh : MUHAMMAD DARWIS, SP
A..    Teknis Budidaya Kakao
Kakao  (Theobroma cacao)  atau lebih populer di kalangan petani Sulawesi selatan dengan sebutan cokelat, adalah tanaman yang berasal dari daerah tropis di Amerika Tengah dan Selatan, khususnya  hulu Sungai Amazone. Ketika Benua Amerika ditemukan, kakao telah menjadi bahan makanan orang Aztek dan ternyata tanaman kakao telah diusahakan beberapa abad sebelumnya (Saranga.P, 1988)
Tanaman kakao sudah dimanfaatkan sebagai bahan pencampur minuman oleh Bangsa Indian suku Maya di Amerika tengah sejak abad Sebelum Masehi, tetapi baru diperkenalkan ke dunia luar pada abad ke-15.  Usaha pengembangan tanaman kakao dirintis oleh Bangsa Spanyol ke Benua Afrika dan Asia. Di Afrika kakao dikembangkan terutama di Nigeria, Kongo dan Pantai Gading, sedangkan di Asia terutama di negara-negara yang berdekatan dengan kawasan Pasifik. Kakao pertama kali diperkenalkan di Indonesia melalui Filiphina masuk ke Sulawesi Utara pada tahun 1560. Pemuliaan tanaman cokelat yang pertama di Indonesia dimulai pada Tahun 1921, oleh Dr. C,J.J Van Hall, yang kemudian melahirkan beberapa klon cokelat jenis Criollo yang sampai sekarang masih digunakan dengan kode DR dan G (Djati Renggo dan Getas) dalam berbagai nomor (Siregar.THS, Riyadi.S dan Nuraeni.L, 1993)
Penanaman kakao membutuhkan persyaratan yang cukup ketat, khususnya menyangkut sifat tanah dan keadaan iklim.
Sifat kimia tanah yang dikehendaki yaitu pH ideal 5,6 – 7,2,  Kisaran pH tanah yang masih dapat diterima oleh tanaman kakao adalah tidak lebih rendah dari 4 dan tidak lebih tinggi dari 8. hal ini terkait dengan efek racun dari Al, Fe dan Mn pada pH rendah dan ketersediaan hara pada pH tinggi. Sifat kimia lainnya yang juga berperanan adalah kadar zat organik. Kadar zat organik yang tinggi akan meningkatkan laju pertumbuhan pada masa sebelum panen (TBM). Olehnya itu, kadar zat organik pada lapisan tanah seebal 0- 15 cm sebaiknya lebh dari 3%, atau setara dengan 1,75% unsur karbon yang dapat menyediakan hara dan air serta struktur tanah yang gembur. Sifat fisik tanah yang berperanan adalah tekstur tanah. Tekstur tanah yang baik untuk kakao adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30-40% fraksi liat, 50% pasir dan 10-20% debu. Susunan demikian akan mempengaruhi ketersediaan hara dan air serta aerasi tanah.  (Siregar. THS, Riyadi.S dan Nuraeni.L, 1993)
Adapun sifat iklim yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao yaitu temparatur dan kelembaban. Tanaman kakao membutuhkan temperatur rata-rata tahunan 25 oC, dengan temperatur rata-rata harian tidak kurang dari 15 oC, sedangkan batas maksimum belum diketahui (Soenaryo dan Sangap Situmorang,  1978). Menurut Soenaryo dan Sangap (1978) bahwa akibat dari suhu yang terlampau rendah adalah terhambatnya pembungaan, perkembangan primordia bunga terhenti..
Selanjutnya dikatakan oleh Soenaryo dan Sangap (1978) bahwa  di Indonesia kakao dapat tumbuh dengan subur di daerah dengan curah hujan lebih dari 3.000 mm, tetapi dapat pula tumbuh pada curah hujan 1.700 mm, yang penting dari curah hujan ini bukan jumlahnya melainkan penyebarannya sepanjang tahun.  Dikatakan pula bahwa tanahpun ikut berperanan dalam menentukan curah hujan,  untuk tanah lempng curah hujan tinggi tidak perlu, 1.500 mm sudah cukup asalkan merata sepanjang tahun, sedangkan untuk tanah-tanah berpasir curah hujan harus tinggi karena kemampuan menyimpan air dari tanah demikian sangat jelek.
Van Hall dalam Soenaryo dan Sangap (1978) mengemukakan bahwa struktur tanah, dalamnya tanah, kecepatan angin, adanya hutan cadangan, dll merupakan faktor-faktor yang memiliki peranan terhadap pertumbuha kakao.
Faktor berikut yang mempengaruhi produksi tanaman kakao adalah bibit dan pemeliharaan. Untuk memperoleh bahan tanaman yang kelak berproduksi tinggi maka sebaiknya bibit kakao diperoleh dari kebun benih kakao, yang telah diketahui sifat-sifat induknya. Bila tidak terdapat kebun benih, maka bahan tanam biji dapat diperoleh dari pohon-pohon terpilih dari pertanaman kakao. Pohon haruslah tingi produksinya, bebas dari serangan hama dan penyakit dan berbuah sepanjang tahun. Biji dikumpulkan dari buah yang matang dan bila buah dibelah pulpnya belum kering (Siregar THS, Riyadi.S dan Nuraeni.L, 1993)
B.  Pestisida Nabati
Pestisida secara luas diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat racun, menghambat pertumbuhan/perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, mempengaruhi hormaon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak dan aktifiktas lainya yang mempengaruhi OPT (Kardinan, 2000) 
Menurut Kardinan (2000) bahwa psstisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Dikatakan pula bahwa, pestisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, oleh karena terbuat dari bahan alam/nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya mudah hilang.
Sutanto (2002) mengemukakan bahwa penggunaan bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sebagai tumbuh-tumbuhan sebagai pestisida atau yang lebih dikenal sebagai ‘pestisida hayati’ (biopesticide), saat ini banyak mendapat perhatian sebagai salah satu usaha ke arah pengembangan teknologi pertanian alternatif.
Pestisida nabati sudah dopraktekkan pada skala penelitian dan percobaan di laboratorium maupun di lapangan (Reintjes. at al, 1993, Stoll, 1995 dalam Sutanto, 2002).
Menurut Kardinan (2000), bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan pestisida nabati adalah tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar kita, di antaranya: babadotan (Ageratum conyzoides.L), serei (Andropogon nardus.L), sirsak (Annonoa muricata.L), srikaya (Annona squamosa.L), lada (Piper nigrum.L), mimba (Azadarachta indica. A.juss), mindi (Melia azedarach.L) dan tembakau (Nicotiana tabacum.L) 
Dikatakan pula bahwa pestisida nabati bersifat pukuldan lari (hit and run), yaitu bila diaplikasikan akanmembunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam. Dengan demikian tanaman tebebas dari residu pestisida dan aman untuk dikonsumsi.

Sungguminasa – Gowa, 02  Maret  2012
Dipublikasikan melalui media elektronik dengan alamat blog: 
muhdar27.blogspot.com

MEMBUAT KECAP AIR KELAPA


MEMBUAT KECAP AIR KELAPA
Oleh :  MUHAMMAD DARWIS, SP
PENYULUH PERTANIAN KABUPATEN GOWA

Kemajuan peradaban manusia terjadi pada semua sector dan sisi kehidupan ini. Salah satu sisi kehidupan yang sangat maju pada jaman ini adalah kuliner.  Brrbagai menu masakan telah berhasil diciptakan oleh manusia melalui instink konsumtif mereka, demikian pula berbagai penyedap rasa dan aroma telah berhasil dibuat untuk meramaikan citarasa dan aroma menu tersebut. Salah satu penyedap rasa yang sudah lama dikenal adalah kecap.
Pada awalnya kecap dibuat orang dari bahan baku kacang kedelai. Kecap dari kacang kedelai ini sangat digemari  karena cita rasa yang ditimbulkannya sangat nikmat. Perkembangan teknologi kuliner yang terus bergerak berhasil menemukan bahan baku lain untuk membuat kecap yang tak kalah nikmatnya dengan kecap kedelai yaitu air kelapa.
Kecap air kelapa bila dilihat dari performa dan warnanya persis sama dengan kecap kedelai. Tetapi teksturnya agak sedikit kasar oleh karena rempah-rempah bumbunya yang kadang tidak teracik secara halus seperti halnya kecap kedelai yang diproduksi oleh pabrik besar. Tetapi aroma dan flafournya tidak kalah nikmat dan menarik. Silahnkan dicoba.
A.  Proses Pembuatan Kecap Air Kelapa
Proses pembuatan kecap air kelapa meliputi pemilihan buah kelapa, pengupasan/pemisahan air kelapa, penyaringan, pemasakan dan penambahan bumbu-bumbu, penyaringan dan pembotolan.
Pemilihan buah ditujukan untuk mendapatkan buah dengan tingkat kematangan yang seragam. Buah dengan tingkat kematangan yang seragam dan dipilih yang cukup tua diharapkan akan memberikan komposisi kimia yang hampir sama. Dalam penelitian ini digunakan buah yang cukup tua tetapi tidak terlalu tua.
Pengupasan dilakukan untuk memisahkan sabut, tempurung, daging buah dan air kelapa. Proses pengupasan dilakukan secara manual dengan menggunakan parang. Air kelapa dipisahkan dari daging buahnya dan ditempatkan dalam wadah berupa waskom yang terbuat dari stainless steel. Penggunaan wadah stainless steel dianjurkan  untuk menghindari air kelapa bereaksi dengan wadah yang akan mengurangi nilai gizi dari komponen-komponen gizi yang terdapat dalam air kelapa.
Tahap berikutnya adalah penyaringan. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan air kelapa dengan kotoran-kotoran yng masih terikut dalam air kelapa, seperti serpihan tempurung, sabut, daging buah maupun kotoran-kotoran padat lainnya. Hasil penyaringan dimsak sesegera mungkin, agar tidak terjadi perubahan pada air kelapa akibat aktifitas enzim dan mikroba. 
Pemasakan bertujuan untuk menghasilkan konsistensi air kelapa yang menyerupai kecap (kedelai). Selama proses pemanasan ditambahkan gula merah dan bumbu-bumbu. Gula merah dan bumu-bumbu akan menyebabkan kecap bertekstur kental dan  beraroma khas. Selama pemasakan/pemanasan terjadi trabsfer panas yang akan menurungkan kadar air produk, oleh karena terjadinya penguapan yang menghasilkan produk yang kental. Kekentalan juga menjadi indikator penilaian mutu kecap yang baik.
Proses pemanasan secara langsung juga akan mengawetkan produk, oleh karena beberapa enzim dan mikroba yang terdapat pada bahan air kelapa akan dinon-aktifkan bahkan dirusak oleh panas.
Penambahan bumbu-bumbu disamping memberi aroma dan citarasa kecap, juga bumbu-bumbu akan berfungsi sebagai pengawet. Beberapa bumbu seperti bawang, lengkuas dan sereh dapat bersifat anti mikroba pada bahan makanan.
Dalam penlitian dilakukan proses pemanasan selama 2 (dua) jam untuk 10 liter bahan. Kecap yang diperoleh selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memisahkan cairan dengan mkotoran maupun bumbu-bumbuyang ditambahkan sebelumnya. Penyaringan dilakukan dengan alat penyaring.
Tahap akhir dari proses ini adalah pembotolan. Pembotolan dilakukan terlebih dahulu dengan mensterilkannya. Sterilisasi wadah ditujukan untuk mendapatkan wadah botol yang bersih dan tidak bereaksi dengan bahan di dalamnya. Suhu yang digunakan untuk sterilisasi adalah di ats titik didih air.
b..  Kandungan Gizi  Kecap
 Pada pembuatan kecap air kelapa digunakan bahan baku air kelapa sebanyak kira-kira 10 liter serta bumbu-bumbu dan penyedap sehingga diperoleh hasil kecap yang baik.
Hasil analisis laboratorium pada kecap tersebut di atas menunjukkan bahwa kecap mengandung nilai gizi yang cukup sehingga layak untuk dikonsumsi. Kandungan gisi kecap terdiri atas air, protein, abu dan padatan terlarut.
Tabel :  Kandungan nutrisi kecap air kelapa
No.
Produk
Komposisi (%)
Air
Protein
Abu
Padatan Terlarut
1.
Kecap
24,01
2,30
6,09
12,34
Sumber:  Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan UNHAS  Makassar
Pada tabel di atas terlihat bahwa kadar air kecap adalah 24,01%. Dengan kadar air demikian maka kecap dapat memberikan citarasa yang enak (tidak hambar). Juga, dengan kadar air demikian maka produk dapat disimpan dalam waktu cukup lama tanpa mengalami perubahan citarasa.
Hanya saja, bila dibandingkan dengan standar mutu kecap yang telah ditetapkan, maka kadar air kecap air kelapa masih sangat tinggi, sebab kadar air yang telah ditetapkan dalam standar mutu kecap adalah 9,7% (Tabel ). Hal ini sesuai pendapat Winarno (2002) yang menyatakan bahwa kadar air suatu bahan menentukan aseptabilitas, kesegaran dan daya tahan bahan. Air juga mempengaruhi penampakan, tekstur serta citarasa makanan.
Tingginya kadar air kecap air kelapa kemungkinan disebabkan oleh bahan bakunya, yaitu air kelapa. Sebagaimana diketahui bahwa air kelapa mengandung air yang sangat tinggi.
Kadar protein kecap adalah 2,30%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kecap air kelapa mengandung protein yang cukup rendah bila dibandingkan kadar protein  dalam standar  mutu kecap, yakni 29,8%. Namun demikian kecap air kelapa masih dapat dijadikan makanan pelezat yang sehat untuk menunjang pertumbuhan dan kesehatan. Telah diketahui bahwa protein dikenal sebagai zat pembangun, karena sangat bermanfaat untuk proses pertumbuhan. Olehnya itu, bila kecap air kelapa dikonsumsi oleh anak-anak maka hal tersebut sangat baik bagi mereka.
Kadar abu kecap air kelapa seperti tampak pada tabel adalah 6,09%, dengan demikian dapat dinyatakan  bahwa kadar tersebut cukup tinggi bila diba dibandingkan kadar abu dalam standar mutu kecap, yaitu 3,3%. Tingginya kadar abu kecap disebabkan karena bahan baku kecap adalah air kelapa yang merupakan bahan organik.  Abu adalah zat anorganik hasil pembakaran bahan organik, dimana pada kecap ini adalah air kelapa.  Kadar abu ada hubungannya dengan kadar mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat pada bahan dapat berupa 2 macam garam, yaitu garam organik dan garam anorganik. Mineral juga kadang-kadang berbentuk senyawa kompleks yang bersifat organis (Sudarmadji dkk, 1986)
Tabel juga menunjukkan bahwa kadar padatan terlarut kecap air kelapa adalah sebanyak 12,34%. Hal ini berasal dari bumbu-bumbu yang digunakan dalam proses pembuatan kecap air kelapa. Telah diketahui bahwa pembuatan kecap menggunakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam air kelapa, seperti gula merah, penyedap rasa yang merupalan kaldu ayam.  Kadar padatan terlarut kecap air kelapa masih rendah bila dibandingkan dengan standar mutu kecap yang ada,  yakni 25,4%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena bahan baku kecap pada umumnya adalah bahan padat, seperti kedelai, kecipir dan lain sebagainya, sehingga kadar padatan telarutnya juga tinggi.

Sungguminasa Gowa,  27   April  2012
Dipublikasikan melalui media elektronik dengan alamat blog:
muhdar27.blogspot.com